AL-QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA DALAM AGAMA
ISLAM
KELOMPOK 1
KHALIL NURUL ISLAM
30700115027
SUMIATI
30700115021
WAHYUNI
30700115018
FAKULTAS
USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN
MAKASSAR
2016
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami persembahkan kepada kehadiran Tuhan semesta alam yaitu Allah SWT
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kegiatan penulisan makalah ini
dapat berjalan dengan baik, meskipun , terdapat beberapa kendala dari penulisan
ini yang menunjukkan keterbatasan kapasitas kami sebagai seorang
manusia.Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan umat Islam
pembawa risalah kebenaran yaitu Rasulullah Muhammad saw.
Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada
pembimbing kami , yaitu Darmawati H.S.Ag.,M.HI. yang telah memberikan tugas
kepada kami yang sekaligus kami dididik dan dilatih untuk jauh lebih berkualitas dan profesional sesuai bidang
studi kami di dalam dunia perkuliahan.
Kami juga meminta maaf atas kesalahan
dan kekeliruan yang terdapat dalam penulisan makalah kami .Oleh karena itu ,
kami meminta saran dan kritikan yang akan membawa kami menuju kearah yang lebih
baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat
Islam yang tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat islam, melainkan dia
merupakan seperangkat aturan yang sangat fundamental ( mendasar ) terhadap sebuah
peradaban (civilisation) umat manusia secara universal (keseluruhan).
Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh
Allah swt untuk beribadah kepadanya, hal ini telah dijelaskan di dalam
al-Qur’an, surah Azd- dzariyat Ayat 56 ;
وَمَا خَلَقۡتُ
ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Terjemahannya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Adz-dzariyat: 56 ).
Prinsip
al-Qur’an itu sangat jelas menempatkan manusia sebagai seorang hamba yang harus
mengabdikan diri kepada-Nya, namun, bukan berarti Allah melarang manusia untuk mencari
sumber penghidupan di dunia ini. Dan baik itu masalah ibadah dan muamalah telah
diatur sedemikian rupa dalam agama lewat dalil-dalil-Nya, akan tetapi terdapat
beberapa perbedaan dalam mengatur suatu hukum dikalangan umat muslim sendiri.
Sumber
atau dalil fikih yang telah disepakati , seperti dikemukakan ‘abd. Al-Majid
Muhammad al-Khafawi, ahli hukum islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat),
yaitu al-Quran, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas.
Dari latar belakang di atas , maka
penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul : Al-Quran Sebagai
Sumber Hukum Utama dalam Agama Islam
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana al-Quran menjadi sumber hukum
dalam syariat islam?
2. Apa
tujuan dari disyariatkannya al-Quran sebagai sumber hukum dalam islam?
C.Tujuan
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana al-Quran
menjadi sumber hukum dalam syariat islam.
2. Untuk
mengetahui apa tujuan dari disyariatkannya al-Quran sebagai sumber hukum dalam
islam.
D.Manfaat
Dengan
penulisan makalah ilmiah ini , penulis mengharapkan dapat memberikan banyak manfaat
dalam berbagai bidang, diantaranya :
1.
Bidang pendidikan, dalam kegiatan
penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan
secara teori maupun praktik.
2.
Bidang
agama, dalam kegiatan penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi syiar
agama khususnya syiar al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum
Agama
Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. menjadi petunjuk
bagi ummat manusia secara universal ( keseluruhan ) . sebelum Islam menyebar ke
penjuru dunia , agama ini terlebih dahulu turun di Mekah tanah Arab, yang pada
masa itu dikenal sebagai peradaban jahiliah. Namun, meskipun agama ini membawa
risalah dari Tuhan yang disampaikan oleh orang yang terpercaya akan kejujurannya
sebelum beliau menjadi rasul yaitu Rasulullah Muhammad saw., tidak bisa
langsung diterima oleh bangsa Arab saat itu, karena banyaknya pertentangan
dengan tradisi bangsa Arab di masa itu.[1]
Sebelum
membahas lebih jauh tentang al-Quran sebagai sumber hukum dalam agama islam
maka pemakalah akan memaparkan secara singkat tentang Bangsa Arab Pra-Islam,
yaitu ditinjau dari kondisi sosiologis dan perudang-undangannya.
1.
Kondisi
Sosiologis Bangsa Arab
Bangsa
Arab Pra-Islam – kecuali sedikit dari mereka hidup dengan cara primitif, dan
sebagian yang lainnya menetap di sebuah kawasan desa dan kota yang berpradaban
seperti yaman , kota Yastrib “Madinah” dan Makkah dengan kehidupan
menetap. Mereka adalah masyarakat kota.Sedangkan masyarakat badui arab mendiami
pedalaman dan menjalani kehidupan berpindah-pindah untuk mencari padang rumput
dan air .
Bangsa
Arab terdiri atas beraneka ragam suku . Sistem kemasyarakatan mereka
berlandaskan fanatisme kesukuan di antara individu-individunya. Suku bukanlah
suatu entitas[2] politik, melainkan hanya
sebuah kesatuan sosial yang berpijak pada hubungan kekerabatan dan ikatan
darah.
Diantara
implikasi[3]
fanatisme kesukuan adalah kebanggaan dan pembelaan mereka terhadap nasab
melebihi pembelaan menyangkut kebenaran dan kebatilan.[4]
2.
Kondisi
Perundang-undangan Masyarakat Arab
Masyarakat
Arab jahiliah pra-islam tidak memiliki pemerintahan atau kekuasaan legislatif
yang membuat undang-undang.Mereka hanya memiliki adat, kebiasaan, dan tradisi yang
bisa disebut sebagai undang-undang jahiliah. Karena tidak memiliki kekuasaan
eksekutif , mereka hanya merujuk kepada kepala suku atau dukun.diantara
undang-undang masyarakat arab jahiliah adalah sebagai berikut;
A.
Undang-undang
Keluarga
1. Pernikahan dan Hukum yang Terkait
Dengannya
Masyarakat arab jahiliah mengenal bermacam-macam
pernikahan. Diantaranya adalah pernikahan yang dipraktekkan manusia hari ini.
Seorang laki-laki melamar kepada laki-laki lain untuk menikahi perempuan yang
diwalikannya atau anak perempuannya, lalu ia memberinya mahar dan
menikahinya.Islam mengakui pernikahan semacam ini dan membuat sejumlah batasan
dan norma. Ada juga bentuk-bentuk pernikahan yang rusak dan ditolak oleh syariat
islam. Diantara pernikahan yang rusak ini adalah :
a. Nikah al-syighar, yaitu seorang
laki-laki menikahkan anak perempuannya atau yang berada dalam kewaliannya dengan laki-laki lain,dengan syarat laki-laki
itu menikahkan anak perempuannya atau yang diwalikannya dengan laki-laki
pertama , dan diantara keduanya tidak ada mahar , melainkan masing-masing dari
dua istri itu merupakan mahar bagi yang lain. Islam melarang pernikahan semacam
ini.
b. Nikah al-Muqthi (keji), yaitu
anak laki-laki menikahi isteri bapaknya setelah meninggal, jika ia bukan
ibunya. Islam menentang pernikahan yang keji ini dan hal-hal yang berkaitan
dengannya.
c. Permpuan-perempuan yang haram dinikahi.
Masyarakat Arab memiliki aturan pengharaman menikahi ibu, anak perempuan, bibi
dari ayah dan bibi dari ibu.Islam mengakui pengharaman ibu dan semisalnya serta
menjelaskan siapa saja yang haram dinikahi.[5]
2. Wasiat dan Warisan
a.
Wasiat
Wasiat adalah kepemilikan yang
ditangguhkan hingga setelah kematian. Masyarakat Arab mengenal tindakan hukum ini.
Mereka memperkenankan wasiat kepada ahli waris dan selainnya tanpa membatasi
kuantitasnya . Islam mengakui prinsip wasiat dan menentukan batas sepertiga
dari peninggalan pemberi wasiat.
b. Warisan
Warisan termasuk faktor penyebab
pindahnya kepemilikan, dimana harta dan hak-haknya berpindah dari orang yang
mewariskan (mayit) kepada ahli warisnya melalui kepusakaan berdasar hukum syariat
setelah pemenuhan kewajiban yang berkaitan dengan peninggalan mayit. Masyarakat
Arab telah mengenal warisan sebagai salah satu sarana kepemilikan. Mereka
menjalankan ketentuan waris berdasarkan dua hal : nasab dan usaha. Mereka yang
mendapatkan warisan lantaran nasab adalah para kerabat,yaitu anak laki-laki
yang telah dewasa dan berperang di atas kuda , membawa pedang dan mengambil
rampasan. Adapun pewarisan karena usaha itu meliputi pewarisan dengan sebab
adopsi, aliansi, dan akad.ketika islam datang , ia membiarkan masyarakat Arab
sekian waktu untuk berpijak pada tradisi mereka ,kemudian menghapus pewarisan
dengan sebab adopsi.[6]
B.
Muamalah
Masyarakat
arab pra-islam mengenal berbagai muamalah seperti syirkah (perseroan)
,mudharabah (bagi hasil),rahn (gadai),bai’(jual-beli) dan
lain-lain.adapun penjelasannya lebih lanjut sebagai berikut;
1. Akad syirkah (perseroan) telah
dikenal oleh masyarakat Arab pra-islam ,hal tersebut dibuktikan dalam sirah nabawiyah
“ Rasulullah saw., sebelum kenabian berserikat dengan sa’ib bin sa’ib.
Islam mengakui perseroan (syirkah) dan para ulama fiqih menjelaskan
syarat-syarat dan implikasinya.
2. Qardh (pinjaman
dan riba) . masyarakat telah mengenal akad qardh , dan mereka menjalankannya
dengan riba. Mereka berhutang hingga batas waktu tertentu dengan pengembalian
yang lebih dan bersyarat.
3. Jual-beli.Masyarakat pra-islam mengenal
berbagai jenis jual-beli, namun islam hanya mengakui jual-beli yang benar dan
didasarkan pada sikap saling rela ,serta menghapus jual –beli yang bertentangan
dengan prinsip saling rela, mengandung penipuan atau mengambil harta pihak lain
dengan cara batil.[7]
C.
Qishash dan Diyat
Qishash
terhadap prilaku kriminal dikenal dikalangan masyarakat arab , tetapi mereka
tidak membatasi qishash pada
pelaku kriminal saja melainkan meluas hingga semua anggota suku. Maka islam
datang membatasi tanggung jawab atas pelaku kejahatan secara individual.
Hukum
Diyat juga dilaksanakan di kalangan masyarakat Arab . mereka menganggapnya sebagai tindakan
terpuji . Islam mengakui aturan ini dan membebankan diyat pembunuhan tak
sengaja kepada aqilah ( keluarga ) pelaku, maksudnya kerabat laki-laki
dari sukunya.[8]
B. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Syariat Islam
Dalam Islam
kita mengenal berbagai sumber hukum diantaranya adalah al-Quran, dan al-Quran
ini adalah sumber utama dalam pengambilan hukum. Rasulullah pernah bertanya
jawab dengan sahabatnya bernama Mu’adz bin Jabal sebagai berikut;
“ Nabi saw. Bertanya kepada Mu’adz , “bagaimana engkau
berbuat jika dihadapkan kepada suatu perkara ?” jawab Mu’adz “saya memutuskan
dengan apa yang terdapat dalam kitab Allah. Jika perkara itu tidak terdapat
dalam kitab Allah?” tanya Nabi saw. Lagi . jawab Mu’adz “maka saya memutuskan
dengan apa yang terdapat dalam sunnah Rasulullah saw. Tanya nabi lagi “jika
perkara itu tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah ?” Mu’adz menjawab “saya
berijtihad dengan pendapatku, dan saya tidak akan berlaku ceroboh.[9]
1.
Pengertian
Ditinjau dari segi bahasa
(etimologi) kata القران terambil dari kata
قَراَ. Bentuknya sepola dengan kata فعلان seperti kata الغُفْرَانُ Penambahan huruf alif dan nun
berfungsi untuk menunjukkan kesempurnaan. Maka secara bahasa kata القُرْانُ bukan sekadar
bacaan (قراءة (tetapi bacaan yang sempurna. Kata
“bacaan” ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang selalu
dibaca ((مَقْرُوءُ. Hal ini diperkuat oleh ayat al-Qur’an
sebagai berikut:
إِنَّ عَلَيۡنَا
جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧ فَإِذَا
قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ١٨
Terjemah :
17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah
bacaannya itu.(QS.al-Qiyamah:17-18).
Secara terminologi,ada beberapa defenisi yang dikemukakan
oleh para ulama tentang al-Qur’an. Berikut ini akan dikemukakan tiga defenisi
saja:
a.
Menurut
Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafaz berbahas Arab dengan
makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap
ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat an-Nas serta dijamin
keasliannya.
b.
Menurut
Mahmud Syaitut, al-Qur’an ialah lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. Yang dinukilkan sampai kepada kita secara mutawatir.
c.
Menurut
Abu Zahra, al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Berupa ayat yang pertama turun, yaitu اِقْرَاْ بِسم ربك الذى خلق ... dan ayat yang
terakhir turun, yaitu اليوم اكملت لكم دينك...[10]
Al-Quran
dalam kajian ushul fiqh merupakan objek utama dan pertama pada kegiatan
penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Quran menurut bahasa berarti
“bacaan” dan menurut istilah ushul fiqh al-Quran berarti “kalam
(perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad saw. dengan bahasa arab serta dianggap beribadah membacanya”.[11]
Syariat dari segi bahasa berarti mazdhab
dan jalan lurus. Kata syir’atul ma’ berarti sumber[12]
air yang hendak diminum , kata syara’a bermakna nahaja ( meneliti
), menerangkan , dan menjelaskan berbagai jalan titian . kata syara’a
juga berarti sanna (menetapkan). Menurut istilah , syariat berarti agama
dan berbagai hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya.hukum-hukum
ini disebut Syariat-Nya, karena ia lurus dan menyerupai mata air , karena ia
memberi kehidupan bagi jiwa dan akal sebagaimana mata air membawa kehidupan
bagi fisik.
Syariat,
din, dan millah memiliki arti yang sama , yaitu hukum-hukum yang
disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya.Namun hukum-hukum ini disebut syariat
karena aspek pembuatannya, kejelasannya, dan konsistensinya; disebut din
karena menjadi sarana untuk patuh dan beribadah kepada Allah: dan disebut millah
karena didektekan (diimla’kan) kepada manusia.[13]
Islam artinya menyerah diri kepada Allah swt. Kemudian
penggunaan kata islam ini dibatasi oleh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw. dari Allah swt. [14]
2.
Karakteristik
al-Quran
Pertama, lafadz dan makna
al-Quran berasal dari Allah, sedangkan Rasul saw. tidak lain hanya menyampaikan . lafadz
al-Quran dengan menggunakan bahasa
Arab.
Kedua, al-Quran disampaikan kepada kita
secara mutawatir, yaitu penyampaian al-Quran dari Nabi saw. Oleh orang-orang yang tak terhingga
jumlahnya , dan tidak terbayangkan oleh akal akan kesepakatan mereka untuk
berdusta, kemudian diriwayatkan dari kaum tersebut oleh kaum lain yang tidak
terbayangkan oleh akal bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, karena banyaknya
jumlah mereka dan berlainan tempat tinggalnya.
Ketiga, al-Quran bersifat Mu’jiz,
yakni seluruh manusia tidak mampu mendatangkan semisalnya. I’jaz ini
berupa tantangan al-Quran kepada bangsa Arab yang menentang al-Quran , mereka
sangat menguasai balaghah dan kefasihan bahasa bahkan memiliki kekuasaan.
Seandainya mereka berdaya , pastilah mereka tidak tinggal diam. Jika orang arab
saja tidak berdaya hingga hari ini,maka dipastikan al-Quran itu berasal dari
Allah.[15]
3.
Karakteristik Penetapan Syariat Islam
Penetapan
syariat Islam berpijak pada prinsip menjaga kemaslahatan maasyarakat dan
menghindarkan mudharat dan kerusakan
dari mereka.Inilah prinsip besar yang mencakup seluruh hukum syariat Islam
.Diantara karakteristik tersebut, atau katakanlah manifestasi tersebut, adalah
:
1.
Penetapan Syariat Secara Bertahap
Hukum-hukum al-Quran tidak turun
sekaligus,begitu juga hukum-hukum as-Sunnah tidak datang sekaligus.Hikmah dari
penetapan syariat secara bertahap ini
bahwa hukum-hukum itu dirasakan lebih ringan bagi jiwa daripada diturunkan
sekaligus.
Kebertahapan
( tadarruj ) dalam penetapan syariat
ini bermacam-macam bentuknya.
a.
Bertahap dari segi waktu. Yakni hukum-hukum tidak diturunkan dalam satu
waktu, melainkan ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan, seperti yang
telah kita ketahui. Hukum-hukum di dalam undang-undang Islam tidak ditetapkan
sekaligus, melainkan ditetapkan sepanjang masa kenabian.
b.
Bertahap dari segi jenis-jenis hukum yang disyariatkan.Hal ini sudah
jelas,karena umat islam tidak dibebani dengan banyak kewajiban di permulaan
islam. Tetapi mereka diperlakukan dengan lemah lembut demi untuk meringankan
jiwa mereka.
c.
Bertahap dari segi penjelasan hukum-hukum secara global, kemudian
setelah itu diberikan perinciannya. Penetapan syariat di Mekah, berkenaan
dengan hukum-hukum praksis, turun dalam bentuk global. Kemudian turun penetapan
syariat di Madinah yang merinci hukum-hukum yang bersifat global tersebut.
2.
Menghilangkan Kesulitan
Diantara karakteristik penetapan
syariat adalah menghilangkan kesulitan . Hal ini tampak jelas bagi orang yang
meneliti hukum-hukum syariat. Disana ada nash-nash
Sharih ( tegas ) yang menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki kecuali
kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak ingin mempersulit dan memperberat
dengan hukum-hukum-Nya.Allah berfirman dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 185 :
Terjemah:
“ Allah
menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan untukmu”.
Di dalam Sunnah juga terdapat banyak
nash tentang makna ini. Di antaranya;
تعسروايسرواولا
Artinya :
“ Mudahkanlah dan jangan
mempersulit”.
Terdapat
riwayat shahih bahwa tidaklah nabi saw. Diberikan dua pilihan kecuali
beliau memilih yang termudah. Beliau bersabda “ Seandainya bukan karena
khawatir memberatkan umatku , niscaya kuperintahkan mereka bersiwak setiap
hendak shalat.”[16]
3 . Nasakh
Nasakh berarti
menghapuskan hukum yang terdahulu dengan hukum yang datang sesudahnya.
Diantaranya,
a)
‘iddah istri
yang ditinggal mati suaminya pada masa permulaan Islam adalah satu tahun genap,
dan suami harus mewasiatkan nafkah dan tempat tinggal bagi istri selama masa ‘iddah
, hal ini telah disebutkan di dalm al-Quran surah al-Baqarah ayat 140.
b)
Dahulu wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat
hukumnya wajib ,kemudian dihapus dengan ayat waris , seperti yang disebutkan
dalam sunnah untuk menegaskan penghapusan tersebut. Dalam sebuah hadis nabi
saw. Bersabda “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang berhak.
Ketahuilah , tidak ada wasiat untuk ahli waris .”
c)
Nabi pernah melarang ziarah kubur , kemudian
membolehkannya setelah itu. Dalam sebuah hadis disebutkan “ Aku pernah melarang
ziarah kubur . ketahuilah , sekarang berziaralah , karena ia dapat
mengingatkanmu akan akhirat.”
d)
Kiblat pada mulanya menghadap ke Baitul Maqdis,
kemudian kiblat dalam shalat diubah kearah ka’bah.[17]
4.
Kedudukan
al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat
tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus
merujuk dan berpedoman kepada Al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan firman Allah
Swt. dalam al-Qur’an: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah
dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di
antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’an) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’/4:59)Dalam ayat yang lain Allah Swt.
menyatakan: Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa
yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang
(orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S.
an-Nisa’/4:105) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim, Rasulullah saw. bersabda: Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian
manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan
saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah
kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka
ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R.
Muslim) Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’an
merupakan kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang
yang beriman. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum baik dalam
konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum yang
terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas
maksudnya, tapi ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk
memahaminya.
5.
Macam-macam
Hukum
Al-Quran
Hukum al-Quran bermacam-macam ;
Pertama, hukum-hukum yang berkaitan
dengan akidah seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari akhir. Ini adalah
hukum-hukum i’tiqadiyyah.
Kedua,
hukum-hukum yang berkaitan dengan tazkiyatunnafs, dan penjelasan tentang
akhlak terpuji yang wajib dijadikan perhiasan , dan akhlak tercela yang wajib
ditinggalkan. Ini adalah hukum-hukum akhlaqiyah.
Ketiga,
hukum-hukum yang berkaitan dengan ucapan dan tindakan mukallaf di luar
dua macam di atas . ini adalah hukum-hukum ‘amaliyah (praksis)
dan masuk dalam tema fiqih. Ia terbagi menjadi dua : ibadah dan muamalah.[18]
6.
Cara
al-Quran
Menjelaskan
Hukum
Penjelasan al-Quran tentang berbagai
hukum ada tiga jenis:
1. Pertama
, penjelasan umum (kulli), yaitu dengan menyebutkan kaidah-kaidah[19]
prinsip umum yang menjadi dasar untuk menentukan hukum-hukum furu’,
seperti:
a.
Perintah
berbuat adil dan memutuskan secara adil :
۞إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ ٩٠
90. Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
b. seseorang tidak ditanya tentang dosa
orang lain :
قُلۡ
أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِي رَبّٗا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيۡءٖۚ وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ
نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ثُمَّ إِلَىٰ
رَبِّكُم مَّرۡجِعُكُمۡ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ١٦٤
164. Katakanlah:
"Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi
segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya
kepadamu apa yang kamu perselisihkan"
c. sanksi setimpal dengan pelanggaran:
وَجَزَٰٓؤُاْ
سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى
ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
40. Dan balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan
berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim.
2.
Kedua,
penjelasan global (ijmali), yaitu penyebutan hukum-hukum secara global
yang membutuhkan penjelasan dan perincian. Diantara hukum-hukum ini adalah:
a.
Kewajiban
shalat dan zakat . Allah berfirman :
وَأَقِيمُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ
خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
110. Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Disini
al-Quran tidak menyebutkan jumlah rakaatnya dan tata caranya. Inilah fungsi
Rasul menjelaskannya lewat hadis , begitupun zakat.
b.
Kewajiban
haji. Allah berfirman,
فِيهِ
ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ
وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧
97. Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Sunnah menjelaskan cara pelaksanaannya
beserta rukun-rukunnya.[20]
c.
Halalnya
jual beli dan haramnya riba:
ٱلَّذِينَ
يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ
إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا
سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ
ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Terjemah :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya”.
Selanjutnya
sunnah menjelaskan jual beli yang halal dan haram, serta yang dimaksud dengan
riba.
3
Ketiga, penjelasan rinci ( tafshili), yaitu menyebutkan
hukum-hukum secara rinci .misalnya pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya ,
wanita-wanita yang haram dinikahi dan hukum-hukum tafshili lain di dalam
al-Quran.[21]
C. Konsep Maqasid ( Tujuan ) Syariah dalam Islam
Ulama salaf yang melahirkan konsep asli
, berangkat dari keterangan al-Quran, sunnah , dan prinsip-prinsip umum
syari’ah setelah dilakukan istiqra’ (induksi[22])
terhadap seluruh bentuk formal syariah dan substansinya, baik dalam persoalan
ibadah,muamalah,pernikahan, hudud, qisas,dan lain-lain.
Maqasid
syari’ah adalah suatu prinsip dasar ilmu ushul fiqh yang memiliki aturan jelas dan standar
pasti agar tidak dijadikan alat untuk merelatifkan teks dan menganulirnya.
Penetapan-penetapan tujuan syar’i tidak bisa dibangun oleh asumsi-asumsi dan
prakiraan semu.oleh sebab itu, Imam Syathibi sebagai peletak dasar ilmu maqasid
telah menetapkan berbagai aturan bahi
upaya menggali maqasid syari’ah. [23]
Maqasid
syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum
islam . tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah
Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi
kepada kemaslahatan umat manusia.[24]
Abu
ishaq al-Syatibi dalam buku ushul fiqh membagi tingkat kemaslahatan kepada tiga
tingkatan yaitu :
a.
Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau
disebut dengan kebutuhan primer.Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi ,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut
al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara
agama, jiwa , akal , kehormatan dan keturunan serta memelihara harta. Untuk
memelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan. Misalnya firman Allah
dalam mewajibkan jihad ayat 179 surah al-Baqarah :
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ
يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Terjemah:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.
b. Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan
hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bila tidak diwujudkan tidak
sampai mengancam keselamatannya ,namun akan mengalami kesulitan .syariat islam
menghilangkan segala kesulitan itu .
Adanya hukum takhshish (keringanan) seperti dijelaskan Abd. Al-Wahhab khallaf, adalah sebagai contoh dari
kepedulian syariat islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan
ibadat, islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan)
bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah
taklif.Misalnya islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan
dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain.
c.
Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat
ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi , tidak mengancam
eksistensi[25] salah
satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Dalam lapangan
muamalat islam melarang boros, kikir , menaikkan harga , monopoli dan
lain-lain.dalam bidang uqubat islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam
peperangan dan kaum wanita.
Tujuan Syariat
seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 surah
al-Maidah:
وَلَٰكِن
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَشۡكُرُونَ ….
Terjemah :
“…… tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
penulisan makalah ini , dapat disimpulkan beberapa poin , diantaranya adalah
sebagai berikut :
1.
Sebelum al-Quran diturunkan di tengah masyarakat Arab , ternyata mereka
telah mengenal bermacam-macam tradisi
yang kemudian mereka jadikan undang-undang. Dan setelah al-Quran diturunkan
terdapat beberapa tradisi yang diterima
dan ditolak . Dalam al-Quran Allah menetapkan syariat-Nya secara bertahap baik
dari segi waktu dan jenis-jenis hukumnya.
2.
Adapun tujuan atau maqashidu al-Syariah dari penetapan syariat
Islam, baik dalam al-Quran dan hadis dan lainnya adalah menjaga kemaslahatan
manusia dan menolak mudharat dari mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi,
Satria ,Ushul Fiqh,
Jakarta : Kencana , 2014, cet.v
Hasyim,Umar , Membahas Khilafiyah
Memecah Persatuan Wajib Bermadzhab dan Pintu Ijtihad Tertutup?> , Cetakan
Pertama.
Ismail, Ahmad Satori , Islam
Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, Jakarta : Ikadi , 2012 ,
cet.II
KBBI Ofline
1.5.1
Salim, Fahmi , Tafsir Sesat: 58
Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia , Jakarta : Gema Insani , 2013,
Cetakan Pertama.
Shidiq,
Sapiudin ,Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2014. cet.II
Zaidan, Abdul
Karim , Pengantar Studi Syariat , Jakarta : Robbani Press , 2008 , cet.1
[1] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta
: Robbani Press, 2008) ,H. 11.
[3] Implikasi
adalah keterlibatan
atau keadaan terlibat: -- manusia sbg objek percobaan atau
penelitian semakin terasa manfaat dan kepentingannya;
yg termasuk atau tersimpul; yg disugestikan, tetapi tidak dinyatakan: apakah ada -- dl pertanyaan itu?
[4] Abdul Karim
Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani
Press, 2008) ,H.15
[5] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.27-28.
[6] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.35-36.
[7] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.37-40.
[8] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.42.
[9]Umar Hasyim, Membahas Khilafiyah
Memecah Persatuan Wajib Bermadzhab dan Pintu Ijtihad Tertutup?> , Cetakan
Pertama. H.60.
[10] .
Sapiudin Shidiq,Ushul Fiqh(cet.II. Jakarta, Kencana 2014,h.26-27)
[12] Menurut kamus
umum bahasa Indonesia, kata ‘sumber’ memilki arti ‘asal usul sesuatu’. Berarti
‘sumber hukum Islam’ memiliki arti ‘asal atau tempat pengambilan hukum Islam’.
Sedangkan dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam
terkadang disebut ‘dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum
Islam’. Menurut istilah ahli ushul fiqh, hukum adalah titah Allah Swt. mengenai
pekerjaan mukalaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan atau larangan,
atau semata-mata sebagai suatu pilihan dan ketetapan.
[13] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.231.
[14] Ismail, Ahmad
Satori , Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,( Jakarta
: Ikadi , 2012 , cet.II ) H.158.
[15] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.232.
[16] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) , H. 140-144.
[17] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008), H. 145-146.
[18] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) , H. 233.
[20] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H. 233-236.
[21] Abdul Karim Zaidan, Pengantar
Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H. 236.
[22] Induksi adalah 1 metode pemikiran yg bertolak dr kaidah (hal-hal atau peristiwa) khusus
untuk menentukan hukum (kaidah) yg umum; penarikan kesimpulan berdasarkan
keadaan yg khusus untuk diperlakukan secara umum; penentuan kaidah umum
berdasarkan kaidah khusus. (KBBI Ofline )
[23] Fahmi Salim, Tafsir
Sesat: 58 Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia , (Jakarta : Gema Insani ,
2013, Cetakan Pertama), H.137-140