SELAMAT DATANG KAMU, IYA KAMU :D

Selamat Datang di Blog Kami, Jangan Sungkan :D

Kamis, 14 April 2016

AL-QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM UTAMA DALAM AGAMA ISLAM
12243479_998841026806002_1057418916927433313_n.png















KELOMPOK 1
KHALIL NURUL ISLAM
30700115027
SUMIATI
30700115021
WAHYUNI
30700115018
FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
ALAUDDIN MAKASSAR
2016


KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami persembahkan kepada kehadiran Tuhan semesta alam yaitu Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kegiatan penulisan makalah ini dapat berjalan dengan baik, meskipun , terdapat beberapa kendala dari penulisan ini yang menunjukkan keterbatasan kapasitas kami sebagai seorang manusia.Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan umat Islam pembawa risalah kebenaran yaitu Rasulullah Muhammad saw.
Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada pembimbing kami , yaitu Darmawati H.S.Ag.,M.HI. yang telah memberikan tugas kepada kami yang sekaligus kami dididik dan dilatih untuk jauh lebih  berkualitas dan profesional sesuai bidang studi kami  di dalam dunia perkuliahan.
Kami juga meminta maaf atas kesalahan dan kekeliruan yang terdapat dalam penulisan makalah kami .Oleh karena itu , kami meminta saran dan kritikan yang akan membawa kami menuju kearah yang lebih baik.








BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang tidak hanya menjadi petunjuk bagi umat islam, melainkan dia merupakan seperangkat aturan yang sangat fundamental ( mendasar ) terhadap sebuah peradaban (civilisation) umat manusia secara universal (keseluruhan).
Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh Allah swt untuk beribadah kepadanya, hal ini telah dijelaskan di dalam al-Qur’an, surah Azd- dzariyat Ayat 56 ;
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Terjemahannya:
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Adz-dzariyat: 56 ).
            Prinsip al-Qur’an itu sangat jelas menempatkan manusia sebagai seorang hamba yang harus mengabdikan diri kepada-Nya, namun, bukan berarti Allah melarang manusia untuk mencari sumber penghidupan di dunia ini. Dan baik itu masalah ibadah dan muamalah telah diatur sedemikian rupa dalam agama lewat dalil-dalil-Nya, akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam mengatur suatu hukum dikalangan umat muslim sendiri.
            Sumber atau dalil fikih yang telah disepakati , seperti dikemukakan ‘abd. Al-Majid Muhammad al-Khafawi, ahli hukum islam berkebangsaan Mesir, ada 4 (empat), yaitu al-Quran, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas.
Dari latar belakang di atas , maka penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul : Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Utama dalam Agama Islam
B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana al-Quran menjadi sumber hukum dalam syariat islam?
2. Apa tujuan dari disyariatkannya al-Quran sebagai sumber hukum dalam islam?
C.Tujuan
            Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana al-Quran menjadi sumber hukum dalam syariat islam.
2. Untuk mengetahui apa tujuan dari disyariatkannya al-Quran sebagai sumber hukum dalam islam.
D.Manfaat  
            Dengan penulisan makalah ilmiah ini , penulis mengharapkan dapat memberikan banyak manfaat dalam berbagai bidang, diantaranya :
1.      Bidang pendidikan, dalam kegiatan penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan secara teori maupun praktik.
2.      Bidang agama, dalam kegiatan penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi syiar agama khususnya syiar al-Qur’an.





BAB II
PEMBAHASAN
A.   Gambaran Umum
            Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. menjadi petunjuk bagi ummat manusia secara universal ( keseluruhan ) . sebelum Islam menyebar ke penjuru dunia , agama ini terlebih dahulu turun di Mekah tanah Arab, yang pada masa itu dikenal sebagai peradaban jahiliah. Namun, meskipun agama ini membawa risalah dari Tuhan yang disampaikan oleh orang yang terpercaya akan kejujurannya sebelum beliau menjadi rasul yaitu Rasulullah Muhammad saw., tidak bisa langsung diterima oleh bangsa Arab saat itu, karena banyaknya pertentangan dengan tradisi bangsa Arab di masa itu.[1]
            Sebelum membahas lebih jauh tentang al-Quran sebagai sumber hukum dalam agama islam maka pemakalah akan memaparkan secara singkat tentang Bangsa Arab Pra-Islam, yaitu ditinjau dari kondisi sosiologis dan perudang-undangannya.
1.    Kondisi Sosiologis Bangsa Arab
Bangsa Arab Pra-Islam – kecuali sedikit dari mereka hidup dengan cara primitif, dan sebagian yang lainnya menetap di sebuah kawasan desa dan kota yang berpradaban seperti yaman , kota Yastrib “Madinah” dan Makkah dengan kehidupan menetap. Mereka adalah masyarakat kota.Sedangkan masyarakat badui arab mendiami pedalaman dan menjalani kehidupan berpindah-pindah untuk mencari padang rumput dan air .
            Bangsa Arab terdiri atas beraneka ragam suku . Sistem kemasyarakatan mereka berlandaskan fanatisme kesukuan di antara individu-individunya. Suku bukanlah suatu entitas[2] politik, melainkan hanya sebuah kesatuan sosial yang berpijak pada hubungan kekerabatan dan ikatan darah.
Diantara implikasi[3] fanatisme kesukuan adalah kebanggaan dan pembelaan mereka terhadap nasab melebihi pembelaan menyangkut kebenaran dan kebatilan.[4]
2.    Kondisi Perundang-undangan Masyarakat Arab
Masyarakat Arab jahiliah pra-islam tidak memiliki pemerintahan atau kekuasaan legislatif yang membuat undang-undang.Mereka hanya memiliki adat, kebiasaan, dan tradisi yang bisa disebut sebagai undang-undang jahiliah. Karena tidak memiliki kekuasaan eksekutif , mereka hanya merujuk kepada kepala suku atau dukun.diantara undang-undang masyarakat arab jahiliah adalah sebagai berikut;
A.   Undang-undang Keluarga
1.    Pernikahan dan Hukum yang Terkait Dengannya
Masyarakat arab jahiliah mengenal bermacam-macam pernikahan. Diantaranya adalah pernikahan yang dipraktekkan manusia hari ini. Seorang laki-laki melamar kepada laki-laki lain untuk menikahi perempuan yang diwalikannya atau anak perempuannya, lalu ia memberinya mahar dan menikahinya.Islam mengakui pernikahan semacam ini dan membuat sejumlah batasan dan norma. Ada juga bentuk-bentuk pernikahan yang rusak dan ditolak oleh syariat islam. Diantara pernikahan yang rusak ini adalah :
a.       Nikah al-syighar, yaitu seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya atau yang berada dalam kewaliannya  dengan laki-laki lain,dengan syarat laki-laki itu menikahkan anak perempuannya atau yang diwalikannya dengan laki-laki pertama , dan diantara keduanya tidak ada mahar , melainkan masing-masing dari dua istri itu merupakan mahar bagi yang lain. Islam melarang pernikahan semacam ini.
b.      Nikah al-Muqthi (keji), yaitu anak laki-laki menikahi isteri bapaknya setelah meninggal, jika ia bukan ibunya. Islam menentang pernikahan yang keji ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
c.       Permpuan-perempuan yang haram dinikahi. Masyarakat Arab memiliki aturan pengharaman menikahi ibu, anak perempuan, bibi dari ayah dan bibi dari ibu.Islam mengakui pengharaman ibu dan semisalnya serta menjelaskan siapa saja yang haram dinikahi.[5]

2.    Wasiat dan Warisan
a.    Wasiat
Wasiat adalah kepemilikan yang ditangguhkan hingga setelah kematian. Masyarakat Arab mengenal tindakan hukum ini. Mereka memperkenankan wasiat kepada ahli waris dan selainnya tanpa membatasi kuantitasnya . Islam mengakui prinsip wasiat dan menentukan batas sepertiga dari peninggalan pemberi wasiat.
b.    Warisan
Warisan termasuk faktor penyebab pindahnya kepemilikan, dimana harta dan hak-haknya berpindah dari orang yang mewariskan (mayit) kepada ahli warisnya melalui kepusakaan berdasar hukum syariat setelah pemenuhan kewajiban yang berkaitan dengan peninggalan mayit. Masyarakat Arab telah mengenal warisan sebagai salah satu sarana kepemilikan. Mereka menjalankan ketentuan waris berdasarkan dua hal : nasab dan usaha. Mereka yang mendapatkan warisan lantaran nasab adalah para kerabat,yaitu anak laki-laki yang telah dewasa dan berperang di atas kuda , membawa pedang dan mengambil rampasan. Adapun pewarisan karena usaha itu meliputi pewarisan dengan sebab adopsi, aliansi, dan akad.ketika islam datang , ia membiarkan masyarakat Arab sekian waktu untuk berpijak pada tradisi mereka ,kemudian menghapus pewarisan dengan sebab adopsi.[6]
B.    Muamalah
Masyarakat arab pra-islam mengenal berbagai muamalah seperti syirkah (perseroan) ,mudharabah (bagi hasil),rahn (gadai),bai’(jual-beli) dan lain-lain.adapun penjelasannya lebih lanjut sebagai berikut;
1.      Akad syirkah (perseroan) telah dikenal oleh masyarakat Arab pra-islam ,hal tersebut dibuktikan dalam sirah nabawiyah “ Rasulullah saw., sebelum kenabian berserikat dengan sa’ib bin sa’ib. Islam mengakui perseroan (syirkah) dan para ulama fiqih menjelaskan syarat-syarat dan implikasinya.
2.      Qardh (pinjaman dan riba) . masyarakat telah mengenal akad qardh , dan mereka menjalankannya dengan riba. Mereka berhutang hingga batas waktu tertentu dengan pengembalian yang lebih dan bersyarat.
3.      Jual-beli.Masyarakat pra-islam mengenal berbagai jenis jual-beli, namun islam hanya mengakui jual-beli yang benar dan didasarkan pada sikap saling rela ,serta menghapus jual –beli yang bertentangan dengan prinsip saling rela, mengandung penipuan atau mengambil harta pihak lain dengan cara batil.[7]

C.    Qishash dan Diyat
           Qishash terhadap prilaku kriminal dikenal dikalangan masyarakat arab , tetapi mereka tidak membatasi qishash  pada pelaku kriminal saja melainkan meluas hingga semua anggota suku. Maka islam datang membatasi tanggung jawab atas pelaku kejahatan secara individual.
           Hukum Diyat juga dilaksanakan di kalangan masyarakat  Arab . mereka menganggapnya sebagai tindakan terpuji . Islam mengakui aturan ini dan membebankan diyat pembunuhan tak sengaja kepada aqilah ( keluarga ) pelaku, maksudnya kerabat laki-laki dari sukunya.[8]
B.   Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Syariat Islam
Dalam Islam kita mengenal berbagai sumber hukum diantaranya adalah al-Quran, dan al-Quran ini adalah sumber utama dalam pengambilan hukum. Rasulullah pernah bertanya jawab dengan sahabatnya bernama Mu’adz bin Jabal sebagai berikut;
“ Nabi saw. Bertanya kepada Mu’adz , “bagaimana engkau berbuat jika dihadapkan kepada suatu perkara ?” jawab Mu’adz “saya memutuskan dengan apa yang terdapat dalam kitab Allah. Jika perkara itu tidak terdapat dalam kitab Allah?” tanya Nabi saw. Lagi . jawab Mu’adz “maka saya memutuskan dengan apa yang terdapat dalam sunnah Rasulullah saw. Tanya nabi lagi “jika perkara itu tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah ?” Mu’adz menjawab “saya berijtihad dengan pendapatku, dan saya tidak akan berlaku ceroboh.[9]
1.    Pengertian
              Ditinjau dari segi bahasa (etimologi) kata القران   terambil dari kata
قَراَ. Bentuknya sepola dengan kata   فعلان seperti kata  الغُفْرَانُ Penambahan huruf alif dan nun berfungsi untuk menunjukkan kesempurnaan. Maka secara bahasa kata القُرْانُ bukan sekadar bacaan (قراءة (tetapi bacaan yang sempurna. Kata “bacaan” ini mengandung arti bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang selalu dibaca ((مَقْرُوءُ. Hal ini diperkuat oleh ayat al-Qur’an sebagai berikut:

إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ ١٧  فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ١٨
Terjemah :
17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.(QS.al-Qiyamah:17-18).


               Secara terminologi,ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ulama tentang al-Qur’an. Berikut ini akan dikemukakan tiga defenisi saja:
a.       Menurut Abdul Wahab Khallaf, al-Qur’an ialah kalam Allah yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril dengan lafaz berbahas Arab dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat an-Nas serta dijamin keasliannya.
b.      Menurut Mahmud Syaitut, al-Qur’an ialah lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Yang dinukilkan sampai kepada kita secara mutawatir.
c.       Menurut Abu Zahra, al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Berupa ayat yang pertama turun, yaitu اِقْرَاْ بِسم ربك الذى خلق ... dan ayat yang terakhir turun, yaitu  اليوم اكملت لكم دينك...[10]
            Al-Quran dalam kajian ushul fiqh merupakan objek utama dan pertama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-Quran menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah ushul fiqh al-Quran berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa arab serta dianggap beribadah membacanya”.[11]
Syariat dari segi bahasa berarti mazdhab dan jalan lurus. Kata syir’atul ma’ berarti sumber[12] air yang hendak diminum , kata syara’a bermakna nahaja ( meneliti ), menerangkan , dan menjelaskan berbagai jalan titian . kata syara’a juga berarti sanna (menetapkan). Menurut istilah , syariat berarti agama dan berbagai hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya.hukum-hukum ini disebut Syariat-Nya, karena ia lurus dan menyerupai mata air , karena ia memberi kehidupan bagi jiwa dan akal sebagaimana mata air membawa kehidupan bagi fisik.
            Syariat, din, dan millah memiliki arti yang sama , yaitu hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya.Namun hukum-hukum ini disebut syariat karena aspek pembuatannya, kejelasannya, dan konsistensinya; disebut din karena menjadi sarana untuk patuh dan beribadah kepada Allah: dan disebut millah karena didektekan (diimla’kan) kepada manusia.[13]    
            Islam artinya menyerah diri kepada Allah swt. Kemudian penggunaan kata islam ini dibatasi oleh agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. dari Allah swt. [14]
2.    Karakteristik al-Quran
Pertama, lafadz dan makna al-Quran berasal dari Allah, sedangkan Rasul saw. tidak lain hanya menyampaikan . lafadz  al-Quran dengan menggunakan bahasa Arab.
Kedua, al-Quran disampaikan kepada kita secara mutawatir, yaitu penyampaian al-Quran dari  Nabi saw. Oleh orang-orang yang tak terhingga jumlahnya , dan tidak terbayangkan oleh akal akan kesepakatan mereka untuk berdusta, kemudian diriwayatkan dari kaum tersebut oleh kaum lain yang tidak terbayangkan oleh akal bahwa mereka bersepakat untuk berdusta, karena banyaknya jumlah mereka dan berlainan tempat tinggalnya.
Ketiga, al-Quran bersifat Mu’jiz, yakni seluruh manusia tidak mampu mendatangkan semisalnya. I’jaz ini berupa tantangan al-Quran kepada bangsa Arab yang menentang al-Quran , mereka sangat menguasai balaghah dan kefasihan bahasa bahkan memiliki kekuasaan. Seandainya mereka berdaya , pastilah mereka tidak tinggal diam. Jika orang arab saja tidak berdaya hingga hari ini,maka dipastikan al-Quran itu berasal dari Allah.[15]
3.    Karakteristik Penetapan Syariat Islam
Penetapan syariat Islam berpijak pada prinsip menjaga kemaslahatan maasyarakat dan menghindarkan mudharat dan kerusakan dari mereka.Inilah prinsip besar yang mencakup seluruh hukum syariat Islam .Diantara karakteristik tersebut, atau katakanlah manifestasi tersebut, adalah :
1.    Penetapan Syariat Secara Bertahap
Hukum-hukum al-Quran tidak turun sekaligus,begitu juga hukum-hukum as-Sunnah tidak datang sekaligus.Hikmah dari penetapan syariat secara bertahap  ini bahwa hukum-hukum itu dirasakan lebih ringan bagi jiwa daripada diturunkan sekaligus.
      Kebertahapan ( tadarruj ) dalam penetapan syariat ini bermacam-macam bentuknya.
a.       Bertahap dari segi waktu. Yakni hukum-hukum tidak diturunkan dalam satu waktu, melainkan ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan, seperti yang telah kita ketahui. Hukum-hukum di dalam undang-undang Islam tidak ditetapkan sekaligus, melainkan ditetapkan sepanjang masa kenabian.
b.      Bertahap dari segi jenis-jenis hukum yang disyariatkan.Hal ini sudah jelas,karena umat islam tidak dibebani dengan banyak kewajiban di permulaan islam. Tetapi mereka diperlakukan dengan lemah lembut demi untuk meringankan jiwa mereka.
c.       Bertahap dari segi penjelasan hukum-hukum secara global, kemudian setelah itu diberikan perinciannya. Penetapan syariat di Mekah, berkenaan dengan hukum-hukum praksis, turun dalam bentuk global. Kemudian turun penetapan syariat di Madinah yang merinci hukum-hukum yang bersifat global tersebut.
2.    Menghilangkan Kesulitan
Diantara karakteristik penetapan syariat adalah menghilangkan kesulitan . Hal ini tampak jelas bagi orang yang meneliti hukum-hukum syariat. Disana ada nash-nash Sharih ( tegas ) yang menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki kecuali kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak ingin mempersulit dan memperberat dengan hukum-hukum-Nya.Allah berfirman dalam al-Quran  surah  al-Baqarah ayat 185 :
Terjemah:
“ Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesulitan untukmu”.
Di dalam Sunnah juga terdapat banyak nash tentang makna ini. Di antaranya;
 تعسروايسرواولا
Artinya :
“ Mudahkanlah dan jangan mempersulit”.
Terdapat riwayat shahih bahwa tidaklah  nabi saw. Diberikan dua pilihan kecuali beliau memilih yang termudah. Beliau bersabda “ Seandainya bukan karena khawatir memberatkan umatku , niscaya kuperintahkan mereka bersiwak setiap hendak shalat.”[16]
3  . Nasakh
            Nasakh berarti menghapuskan hukum yang terdahulu dengan hukum yang datang sesudahnya. Diantaranya,
a)      iddah istri yang ditinggal mati suaminya pada masa permulaan Islam adalah satu tahun genap, dan suami harus mewasiatkan nafkah dan tempat tinggal bagi istri selama masa ‘iddah , hal ini telah disebutkan di dalm al-Quran surah al-Baqarah ayat 140.
b)      Dahulu wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat hukumnya wajib ,kemudian dihapus dengan ayat waris , seperti yang disebutkan dalam sunnah untuk menegaskan penghapusan tersebut. Dalam sebuah hadis nabi saw. Bersabda “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang berhak. Ketahuilah , tidak ada wasiat untuk ahli waris .”
c)      Nabi pernah melarang ziarah kubur , kemudian membolehkannya setelah itu. Dalam sebuah hadis disebutkan “ Aku pernah melarang ziarah kubur . ketahuilah , sekarang berziaralah , karena ia dapat mengingatkanmu akan akhirat.”
d)      Kiblat pada mulanya menghadap ke Baitul Maqdis, kemudian kiblat dalam shalat diubah kearah ka’bah.[17]
4.    Kedudukan al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepada Al-Qur'an. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an: Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al-Qur’an) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’/4:59)Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan: Artinya: “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisa’/4:105) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: Artinya: “... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim) Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’an merupakan kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, tapi ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
5.    Macam-macam Hukum Al-Quran
Hukum al-Quran bermacam-macam ;
Pertama, hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah seperti iman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari akhir. Ini adalah hukum-hukum i’tiqadiyyah.
            Kedua, hukum-hukum yang berkaitan dengan tazkiyatunnafs, dan penjelasan tentang akhlak terpuji yang wajib dijadikan perhiasan , dan akhlak tercela yang wajib ditinggalkan. Ini adalah hukum-hukum akhlaqiyah.
            Ketiga, hukum-hukum yang berkaitan dengan ucapan dan tindakan mukallaf di luar dua macam di atas . ini adalah hukum-hukum ‘amaliyah (praksis) dan masuk dalam tema fiqih. Ia terbagi menjadi dua : ibadah dan muamalah.[18]
6.    Cara al-Quran Menjelaskan Hukum
Penjelasan al-Quran tentang berbagai hukum ada tiga jenis:
1.      Pertama , penjelasan umum (kulli), yaitu dengan menyebutkan kaidah-kaidah[19] prinsip umum yang menjadi dasar untuk menentukan hukum-hukum furu’, seperti:
a.       Perintah berbuat adil dan memutuskan secara adil :

۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٩٠
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
b. seseorang tidak ditanya tentang dosa orang lain :
قُلۡ أَغَيۡرَ ٱللَّهِ أَبۡغِي رَبّٗا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيۡءٖۚ وَلَا تَكۡسِبُ كُلُّ نَفۡسٍ إِلَّا عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۚ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّكُم مَّرۡجِعُكُمۡ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ ١٦٤
164. Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan"
c. sanksi setimpal dengan pelanggaran:
وَجَزَٰٓؤُاْ سَيِّئَةٖ سَيِّئَةٞ مِّثۡلُهَاۖ فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
40. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
2.   Kedua, penjelasan global (ijmali), yaitu penyebutan hukum-hukum secara global yang membutuhkan penjelasan dan perincian. Diantara hukum-hukum ini adalah:
a.       Kewajiban shalat dan zakat . Allah berfirman :
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
110. Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
Disini al-Quran tidak menyebutkan jumlah rakaatnya dan tata caranya. Inilah fungsi Rasul menjelaskannya lewat hadis , begitupun zakat.
b.      Kewajiban haji. Allah berfirman,

فِيهِ ءَايَٰتُۢ بَيِّنَٰتٞ مَّقَامُ إِبۡرَٰهِيمَۖ وَمَن دَخَلَهُۥ كَانَ ءَامِنٗاۗ وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٩٧

97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Sunnah menjelaskan cara pelaksanaannya beserta rukun-rukunnya.[20]
c.       Halalnya jual beli dan haramnya riba:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Terjemah :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Selanjutnya sunnah menjelaskan jual beli yang halal dan haram, serta yang dimaksud dengan riba.
3     Ketiga, penjelasan rinci ( tafshili), yaitu menyebutkan hukum-hukum secara rinci .misalnya pembagian warisan, cara talak dan jumlahnya , wanita-wanita yang haram dinikahi dan hukum-hukum tafshili lain di dalam al-Quran.[21]
C.   Konsep Maqasid ( Tujuan ) Syariah dalam Islam
Ulama salaf yang melahirkan konsep asli , berangkat dari keterangan al-Quran, sunnah , dan prinsip-prinsip umum syari’ah setelah dilakukan istiqra’ (induksi[22]) terhadap seluruh bentuk formal syariah dan substansinya, baik dalam persoalan ibadah,muamalah,pernikahan, hudud, qisas,dan lain-lain.
            Maqasid syari’ah adalah suatu prinsip dasar ilmu ushul fiqh yang memiliki aturan jelas dan standar pasti agar tidak dijadikan alat untuk merelatifkan teks dan menganulirnya. Penetapan-penetapan tujuan syar’i tidak bisa dibangun oleh asumsi-asumsi dan prakiraan semu.oleh sebab itu, Imam Syathibi sebagai peletak dasar ilmu maqasid telah menetapkan berbagai aturan  bahi upaya menggali maqasid syari’ah. [23]
            Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum islam . tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.[24]
            Abu ishaq al-Syatibi dalam buku ushul fiqh membagi tingkat kemaslahatan kepada tiga tingkatan yaitu :
a.    Kebutuhan Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat  ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer.Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi , akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, jiwa , akal , kehormatan dan keturunan serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah syariat islam diturunkan. Misalnya firman Allah dalam mewajibkan jihad ayat 179 surah al-Baqarah :
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Terjemah:
Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”.


b.    Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder, dimana bila tidak diwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya ,namun akan mengalami kesulitan .syariat islam menghilangkan segala kesulitan itu .    Adanya hukum takhshish (keringanan) seperti dijelaskan Abd.  Al-Wahhab khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian syariat islam terhadap kebutuhan ini.
Dalam lapangan ibadat, islam mensyariatkan beberapa hukum rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif.Misalnya islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain.
c.    Kebutuhan Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi , tidak mengancam eksistensi[25] salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan.
Dalam lapangan muamalat islam melarang boros, kikir , menaikkan harga , monopoli dan lain-lain.dalam bidang uqubat islam mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita.
Tujuan Syariat seperti tersebut tadi bisa disimak dalam beberapa ayat, misalnya ayat 6 surah al-Maidah:
وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ   ….
Terjemah :
“…… tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.[26]
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Berdasarkan penulisan makalah ini , dapat disimpulkan beberapa poin , diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Sebelum al-Quran diturunkan di tengah masyarakat Arab , ternyata mereka telah mengenal bermacam-macam  tradisi yang kemudian mereka jadikan undang-undang. Dan setelah al-Quran diturunkan terdapat beberapa tradisi yang  diterima dan ditolak . Dalam al-Quran Allah menetapkan syariat-Nya secara bertahap baik dari segi waktu dan jenis-jenis hukumnya.
2.      Adapun tujuan atau maqashidu al-Syariah dari penetapan syariat Islam, baik dalam al-Quran dan hadis dan lainnya adalah menjaga kemaslahatan manusia dan menolak mudharat dari mereka.









DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria ,Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana , 2014, cet.v
Hasyim,Umar , Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan Wajib Bermadzhab dan Pintu Ijtihad Tertutup?> , Cetakan Pertama.
Ismail, Ahmad Satori , Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, Jakarta : Ikadi , 2012 , cet.II
KBBI Ofline 1.5.1
Salim, Fahmi , Tafsir Sesat: 58 Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia , Jakarta : Gema Insani , 2013, Cetakan Pertama.
Shidiq, Sapiudin ,Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2014. cet.II
Zaidan, Abdul Karim , Pengantar Studi Syariat , Jakarta : Robbani Press , 2008 , cet.1





[1] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H. 11.
[2] Entitas adalah satuan yg berwujud; wujud ( KBBI Offline )
[3] Implikasi adalah  keterlibatan atau keadaan terlibat: -- manusia sbg objek percobaan atau penelitian semakin terasa manfaat dan kepentingannya;  yg termasuk atau tersimpul; yg disugestikan, tetapi tidak dinyatakan: apakah ada -- dl pertanyaan itu?

[4] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.15
[5] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.27-28.
[6] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.35-36.
[7] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.37-40.
[8] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.42.
[9]Umar Hasyim, Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan Wajib Bermadzhab dan Pintu Ijtihad Tertutup?> , Cetakan Pertama. H.60.

[10] . Sapiudin Shidiq,Ushul Fiqh(cet.II. Jakarta, Kencana 2014,h.26-27)

[11] Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet.v. Jakarta : Kencana , 2014, H.79

[12] Menurut kamus umum bahasa Indonesia, kata ‘sumber’ memilki arti ‘asal usul sesuatu’. Berarti ‘sumber hukum Islam’ memiliki arti ‘asal atau tempat pengambilan hukum Islam’. Sedangkan dalam kepustakaan hukum Islam di Indonesia, sumber hukum Islam terkadang disebut ‘dalil hukum Islam atau pokok hukum Islam atau dasar hukum Islam’. Menurut istilah ahli ushul fiqh, hukum adalah titah Allah Swt. mengenai pekerjaan mukalaf, baik titah itu mengandung tuntutan suruhan atau larangan, atau semata-mata sebagai suatu pilihan dan ketetapan.
[13] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.231.
[14] Ismail, Ahmad Satori , Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin,( Jakarta : Ikadi , 2012 , cet.II ) H.158.

[15] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H.232.
[16] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) , H. 140-144.

[17] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008), H. 145-146.

[18] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) , H. 233.
[19] Kaidah adalah rumusan asas yg menjadi hukum; aturan yg sudah pasti; patokan; dalil
[20] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H. 233-236.
[21] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, Cetakan Pertama (Jakarta : Robbani Press, 2008) ,H. 236.
[22] Induksi adalah 1 metode pemikiran yg bertolak dr kaidah (hal-hal atau peristiwa) khusus untuk menentukan hukum (kaidah) yg umum; penarikan kesimpulan berdasarkan keadaan yg khusus untuk diperlakukan secara umum; penentuan kaidah umum berdasarkan kaidah khusus. (KBBI Ofline )

[23] Fahmi Salim, Tafsir Sesat: 58 Essai Kritis Wacana Islam di Indonesia , (Jakarta : Gema Insani , 2013, Cetakan Pertama), H.137-140

[24] Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet.v. Jakarta : Kencana , 2014, H.233
[25] Eksistensi adalah hal berada; keberadaan
[26] Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet.v. Jakarta : Kencana , 2014, H.233-237.